Jurnal Jogja


Jurnal Kuliah Lapangan Mata kuliah Sociopreneur

oleh  Rizky Noorrahmi 1405120016

IMG_0154 (1)

Pada tanggal 1 dan 2 mei yang lalu, kami melakukan kuliah lapangan ke Jogjakarta. Lebih tepatnya kami berkunjung ke Desa Sendangrejo.

Di Desa Sendangrejo ada apa? kenapa dikunjungi?

Di sana ada Agradaya. Ada petani-petani muda yang memberdayakan warga sekitar dalam mengolah potensi alam di Desa Sendangrejo dan juga membantu anak-anak belajar bertani lewat Komunitas Anak Bumi (KABUMI) ada Mbak Asri, Mbak Ella, Mbak Ve, dan Mas andika. Yang mana, mereka semua adalah alumni Indonesia Mengajar. Mereka semua percaya bahwa mereka bisa Membangun Bangsa Dari sebuah Desa kecil di pinggiran Jogjakarta. kamu percaya? aku sih, percaya 😀

 

Mari mulai jurnal perjalanan ini dari hari keberangkatan. Kami ke Jogja pakai kereta ekonomi karena ya namanya juga mahasiswa. Berangkat dari stasiun Kiaracondong dan berhenti di stasiun Lempuyangan dengan keberangkatan kurang lebih jam 8 malam, tanggal 1 Mei 2015.

 

Ini pertama kalinya buat aku naik kereta ekonomi. And it was such a fun and awful experience at the same time. Selama 8 jam harus tahan dengan kursi 90 derajat dan kaki yang berhimpit. My back felt so hot. It’s burning.

 

Tapi ada cerita lucu disamping itu. salah satu temen aku, Nia. Dia telat daftar waktu itu. Jadi dia beli tiket kereta sendiri. Dan ngga dapet temen duduk di gerbong. Tapi kemudian…. ada dua orang laki-laki yang nomor bangkunya berhadapan sama Nia. sungguh berkah. sungguh.

 

Di kereta sebenarnya aku duduk sama seorang Bapak. Tapi karena teman yang lain ikut nimbrung jadinya minta tukeran bangku sama bapaknya. Kemudian jadilah aku duduk sebelahan sama Nisa, Husna, Atika, Puspa, dan Eka.

Riz2

 

 

 

Sampai di Lempuyangan jam 5 pagi. Dan dijemput dengan mini bus untuk ke Desa Sendangrejo. Ngga sempat menikmati pemandangan diperjalanan karena masih capek akibat bangku 90derajat itu. Selama di bus aku tidur dan pas bangun udah sampai di desa aja. Ehe.

 

Lalu berkumpul dulu di Joglonya Mas dan Mbaknya Agradaya. Rebahan. Lurusin punggung dan kaki. Dan sarapan! yeay!

 

 

Sarapannya apa? sarapan makanan lokal. ada tiwul, gatot, dan apa itu satu lagi lupa namanya. Ada juga gehu, singkong tumbuk, dan teh manis. yes. we are in Jogja. all food is seasoned with sugar.

Riz4

 

Jujur aja, lidah ini hanya cocok sama gorengan dan singkong tumbuknya aja. Sisanya ngga cocok. Dengan tiwul dan teman-temannya itu. Huhu.

Setelah sarapan, kami semua dibagi kelompok untuk tempat tinggal selama di Desa. Kami tinggal bersama warga setempat, dan makan bersama mereka juga. Aku tinggal di rumah Ibu Susi yang ngga jauh dari Joglo. Tinggal nyebrang aja.

 

Guys, do still believe that nowadays there are still a lot of house with no toilet? yap. Rumahnya Bu Susi ngga punya kamar mandi juga toilet. Aku mandi di kamar mandinya Joglo. Meski rumah mereka terhitung cukup luas kalau dibanding dengan rumahku di Cimahi yang sudah dipatok oleh pemilik komplek perumahan itu. But still, they doesn’t have toilet.

 

Tapi janganlah lihat mereka dari sisi itu. Selama di rumah, Bu Susi banyak cerita betapa susahnya bertani padi di sana karena hama tikus yang sulit hilang. Kalau petani di kota lain biasa panen 2 atau 3 kali dalam setahun, buat mereka bisa panen satu kali dalam setahun saja sudah sangat bersyukur.

 

Sudah dikasih lihat kamar untuk aku dan Husna tempati selama satu hari dan satu malam, Bu Susi nyuguhin kami sesuatu yang sangat mengejutkan. Tiada lain tiada bukan; Tiwul.

 

Bukan satu mangkuk kecil kayak di Joglo tadi, tapi 2 piring! Yak. Masing-masing dapat satu piring. Begitu lihat piringnya, aku dan Husna ketawa meringis sambil mikir gimana caranya tiwul ini lenyap dalam sekejap mata.

 

Akhirnya cuma bisa bilang ke Bu Susi kalau kami sudah kenyang. Akhirnya minum teh manisnya aja dan berlalu lah kami kembali ke Joglo sambil tetap mikir apa yang akan terjadi dengan dua piring penuh dengan tiwul itu.

 

Sambil menunggu agenda selanjutnya, Husna memutuskan untuk bikin gelang bersama Intan anaknya Bu Susi

Riz5

 

Nah, setelah dapat housefam masing-masing berlanjut ke agenda yang pertama untuk hari itu yaitu; pengenalan dari Agradaya. Agradaya adalah sebuah usaha berlandaskan Sociopreneur

 

Sociopreneur itu apa? Sebenarnya, belum ada deskripsi pasti apa itu Sociopreneur. Tapi menurut Agradaya, Sociopreneur itu adalah:

Riz6

 

 

Agradaya memberdayakan ibu-ibu di Desa Sendangrejo lewat melinjo atau tangkil yang dijadikan emping karena di sana cukup banyak pengrajin emping. Agradaya membantu membuatkan packaging emping yang lebih kekinian agar pembeli datang juga dari kalangan muda.

 

Kemudian mempromosikannya lewat event-event di Jogjakarta dan kota sekitarnya.

Selain membantu para orang tua, Agradaya juga membantu anak-anaknya dalam Komunitas Anak Bumi (kabumi)  yang masih dalam naungan Agradaya.

 

Kabumi dibimbing oleh Verawati Koto atau biasa dipanggil Mbak Ve. Anak-anak Kabumi sangat akrab dengan Mbak Ve. Mbak Ve sempat cerita, kalau dia lagi sendiri di Joglo, anak-anak Kabumi sering datang ke Joglo cuma untuk nanya:

“Mbak Veee… wes makan tah?”

 

How sweet they are, right? J

 

Oh ya, salah satu anak Kabumi yang sudah SMP ada tertarik buat belajar crochet sama Mbak Ve. Dan mereka ngga pakai benang. Tapi pakai kantong kresek bekas! Yeah! Go Green!

 

***

 

Selanjutnya ada Dreamdelion Jogjakarta yang membantu pengolahan kain kemben menjadi kain yang tidak membosankan dan bisa diaplikasikan pada produk apapun. Seperti: T-Shirt, tas, dompet, sepatu, dan masih banyak lagi.

 

Sayangnya, penenun kain kemben ini sudah sepuh semua dan yang muda banyak yang enggan untuk meneruskan tradisi ini L

Lalu ada Oma-oma dari Paguyuban Sekar Inn yang sudah berdiri sejak tahun 2010. Mereka tergabung atas kesukaan pada satu hal; Batik.

Riz7

 

Oma-oma ini memberikan tips cara membedakan mana Batik asli dan mana Batik palsu yang mereka sebut dengan ‘Sutra Kecewa’. Ini maksudnya adalah kain polyester yang sekilas mirip dengan permukaan kain sutra yang mengkilap. Padahal bukan sutra. Kecewa lah mereka.

 

Di umur yang sudah lebih dari setengah abad itu, Oma –oma ini masih tetap semangat dalam melahirkan motif batik yang baru terus menerus.

 

 

 

 

Setelah bercerita bagaimana Oma-oma ini bisa tetap bertahan untuk tetap membatik, kami dilihatkan pada batik karya mereka. Dan ada satu batik yang membuat aku mengagumi Oma-oma ini. Tapi sayangnya ngga ada di dokumentasi. Batik warna biru dan hitam yang penuh dengan detail itu. Yang beliau kerjakan selama satu bulan.

Riz9

 

Pada saat melihat batik itu, aku pikir harganya mencapai 1 juta rupiah. Tapi setelah ditanyakan, harganya 700 ribu rupiah saja. Untuk pengerjaan selama itu, dan detail sehebat itu, aku rasa itu adalah harga yang terlalu murah.

 

 

***

 

Setelah istirahat Shalat Ashar, berlanjut pada agenda terakhir untuk hari pertama di Desa Sendangrejo;  membuat Friendship Bracelet  bersama KABUMI! Yeaaay!

 

 

Ah iya, waktu pulang ke rumah Bu Susi untuk Shalat Ashar ternyata tiwulnya masih nangkring asik di atas meja minta dimakan. Terus aku sama Husna ngeles lagi “masih ada kegiatan Bu di Joglo” dan Bu Susi nyimpen tiwulnya di dalam kamar. Iya. Di dalam kamar. Makin bingung lah aku sama Husna gimana caranya tiwul itu lenyap.

 

Sampai di Joglo aku sama Husna cerita sama yang lain kalau kami disuguhi tiwul dua piring penuh. Dan responnya “makan ih kalian teh. Meni jahat udah dibikinin ngga dimakan”. I do want to eat that tiwul. But the taste was just so weird. Help! Help!

 

***

 

Pembagian kelompok KABUMI dibantu oleh Mbak Ve dengan bermain kata kebalikan

 

Lalu Mbak Ve minta kami semua untuk baris sesuai tanggal lahir—kalau ngga salah—dan mendapat kelompoknya masing-masing dengan jumlah Kakak dan Adik yang tidak seimbang.

 

Aku dapat partner Wahyu untuk bikin friendship braceletnya. Biarpun dia laki-laki, tapi Wahyu cepat paham dan sangat bersemangat bikin gelangnya. Di grup kami, Wahyu yang selesai paling cepat 😀

Riz12

 

 

Hectic banget! Apalagi yang adiknya kebagian partner kakaknya dua orang. Yang satu jelasinnya gimana, yang satunya jelasinnya gimana.

Nah, diantara anak Kabumi lainnya ada satu anak yang paling nyentrik karena setiap ada kejadian apapun dia selalu tertawa. Meskipun hal itu nggak lucu. Namanya Putra si penangkap belut yang selalu riang gembira apapun yang terjadi. Yang tentu saja hal itu membawa pengaruh positif ke sekitarnya. Meskipun ngga ada yang lucu, tapi kami tertawa karna melihat Putra tertawa. Senang sekali melihat anak seperti putra \ ( ‘v’)/

 

 

Setelah semua selesai dengan Friendship Braceletnya, saatnya untuk… foto bersama!

Riz18

 

 

Ngga kerasa senja sudah menjemput. Saatnya untuk adik-adik Kabumi pulang dan beristirahat dan juga sudah saatnya untuk kami mandi. Cuacanya mendung tapi gerah. Mirip-mirip udara Dakol gitu lah. Apalagi setelah kegiatan yang cukup padat dan melelahkan namun menggembirakan itu. Tentu keringat kami keluar sangat banyak.

Tapi, karena rumah Bu Susi ngga punya kamar mandi, jadinya aku sama Husna pulang ke rumah ngambil perlengkapan mandi dan kembali ke Joglo untuk antri mandi.

Aku mandi lebih dulu daripada Husna. Sambil nunggu aku selesai, Husna ngobrol sama Mbak Ve tentang Putra dan anak Kabumi lainnya. Dari apa yang Mbak Ve ceritakan, sepertinya nanti orang tua di Sendangrejo akan sangat berterima kasih karna Mbak Ve sudah mengajari banyak hal pada anak Kabumi. Mbak Ve punya hasrat mengajar dan berbagi yang sangat sangat tinggi.

Setelah aku selesai mandi, gentian aku yang ngobrol sama Mbak Ve. Dan setelah perbincangan yang ngalor-ngidul, ternyata dulu Mbak Ve pernah ngajar di SMAku selama 6 bulan sebagai Guru PPL. Dan katanya lagi Mbak Ve sempat ngajar di kelasku 3 kali. Tapi aku ngga pernah ingat apa-apa tentang pengajar pelajaran Komputer seorang perempuan. Karna seingat aku, pengajar pelajaran itu semuanya laki-laki.

Ini berarti waktu mbak Ve ngajar di kelasku, itu hari dimana aku sedang sakit dan sedang bolos pelajaran hahaha. Dan ternyata lagi, Mbak Ve pernah jadi mentornya temen SMA Husna di Masjid Salman. DUGEM katanya. Duduk Gembira Melingkar. Hahaha what a day! Kami justru malah dipertemukan di Sendangrejo.

Keasikan ngobrol sama Mbak Ve, ternyata Bu Susi jemput aku sama Husna buat makan malam bersama.

***

Aku lupa menu makannya apa malam itu. Tapi masakan Bu Susi enak! Ditambah lagi aku udah lama ngga pulang ke rumah dan makan masakan rumah. Jadi berasa lagi di rumah :’)

Dan untungnya, Bu Susi ngga begitu suka bumbu masakan Jawa yang serba dikasih gula. Justru Bu Susi bikin masakan yang pedas. Nyam nyam.

Makan bersama dengan Bu Susi, Intan, dan suaminya Bu Susi yang lupa aku tanya siapa namanya. Sudah lama juga aku ngga makan melingkar dengan keluarga di rumah.

Selesai makan, nonton tv sebentar sambil ngobrol sama Bu Susi dan suaminya tentang keadaan Desa dan tentang pekerjaan mereka sebelum menikah dan menetap di sana.

Ternyata Bu Susi pernah kerja di garment dan bisa menjahit baju. Dan lagi, dari ceritanya, Bu Susi adalah salah satu pegawai andalan bosnya dulu. Karena hasil kerjaan Bu Susi paling rapi dan paling cepat selesai. Tapi pernah suatu hari Bu Susi bolos kerja karna ada kerjaan untuk merombak baju dan celana. Bu Susi malas. Tapi pada akhirnya kerjaan itu dikasih ke Bu Susi juga karna hasil kerjaan pegawai lain berantakan.

Sudah cerita banyak hal, aku sama Husna pamit tidur karena udah capek banget seharian itu. Ditambah lagi, kami rindu kasur.

Udara malamnya dingin banget padahal siangnya panas. Selimutnya cuma ada satu dan tipis. Untungnya aku bawa selimut tipis juga dari Bandung.

***

Riz13

Paginya sudah janjian untuk lihat matahari terbit. Tapi ternyata rencana hanyalah rencana. Pas mau izin berangkat malah ditahan untuk sarapan pisang goreng sama minum teh manis panas dulu sama Bu Susi.

Dan ternyata, piring berisi tiwul sudah tidak lagi disajikan sama Bu Susi! Ya, mungkin pada akhirnya Bu Susi paham kalau aku sama Husna melakukan penolakkan secara halus. Sangat halus….

Selesai sarapan, keluar untuk jalan-jalan keliling Desa. Sayang pagi itu mendung sisa hujan kemarin. Tapi ayo jalan-jalan!

 

Di tengah perjalanan, Putra tiba-tiba turun dari sepeda dan lompat ke petak sawah yang sudah dipanen dan menyisakan lumpur. Ternyata Putra nyari belut!

Riz14

Ngga berhasil dapet belut, putra ditinggal oleh kami dan sepedanya digiring sama Mas Andika. Putra cuma bengong di pinggiran sawah.

Tapi kemudian, Putra berhasil dapet belut di petak sawah yang lainnya. Sebenernya sih Mas Andika yang lihat duluan. Terus dibantu sama Ruri ngegali lumpurnya. Tapi penggalian dihentikan karna mereka pikir itu bukan belut, tapi ular. Begitu Putra datang, dengan sigap dia langsung ambil belut itu dari lumpur dan mengklaim kalau belut itu milik dia.

Dalam perjalan pulang, aku menemukan jamur yang tumbuh di atas sisa-sisa batang padi di pinggir jalan. Sudah tentu ini jadi objek foto menarik. Karena aku baru lihat jamur jenis ini dan yang pasti, jamur ini ngga bisa dimakan.

Sementara yang lain sudah jalan jauh, aku, Husna, dan Nanat masih asik ngambil foto jamur lucu itu ( *v*)/

***

Kembali antri mandi di Joglo. Karena agenda selanjutnya ada di Desa sebrang. Desa Sendangsari—kalau ngga salah—tempat pengrajin Serat Mendong.

Waktu pertama denger mendong, aku sama sekali ngga terbayang seperti apa bentuknya. Dan kenapa juga aku ngga penasaran untuk nyari itu di internet? Yah, entahlah.

Berangkat ke Sendangsari pakai mini bus yang waktu itu jemput dari Lempuyangan. Dan seperti biasa, Atika dan Salsa terlambat. Padahal mereka sudah bangun sejak pagi tadi. Ngga ikut jalan-jalan keliling Desa. Tapi masih tetap kesiangan juga. Akhirnya mereka ditinggal. Bye Atika dan Salsa~

Di Desa Sendagsari ada Deriji Craft yang merupakan home industry kerajinan Serat Mendong milik Bapak Dwiyanto.

Penganyam serat Mendong sangat sedikit dan sama seperti pengrajin kain kemben dari Dreamdelion, mereka adalah Nenek yang sudah umurnya rata-rata 60-80 tahunan. Sementara yang mudanya kebanyakan pergi merantau ke kota dan enggan mengerjakan ayaman mendong ini.

Sehingga, seringkali ketika dapat pesanan dalam jumlah besar, mereka tidak sanggup memenuhinya. Karena pengrajinnya sudah tidak lagi punya tenaga yang besar.

Di sini juga kami berbagi tentang pewarna alam yang ternyata mereka membutuhkan juga. Karena, setiap kali ada pengunjung asing—bule—bertanya tentang pewarna yang digunakan, mereka kurang tertaik jika pewarnanya menggunakan pewarna sintetis. Tidak ramah lingkungan katanya. Tapi ya memang benar sih. Lagipula, kalau pakai pewarna alam nilai jual produk akan jadi lebih tinggi karena proses yang dilalui tidak sesingkat ketika menggunakan pewarna sintetis.

Riz16

Riz15

 

 

 

Saking seringnya menganyam, sewaktu Mbahnya ngayam, aku ngga bisa lihat apa-apa. Cepet banget! Minta dipelankan sedikit Mbahnya malah jadi bingung nganyamnya.

Tapi sayangnya ngga dikasih lihat gimana proses awal penganyaman mendongnya. Mbahnya cuma nerusin pekerjaannya aja.

Setelah berbagi dan belajar tentang serat Mendong, tiba-tiba Pak Dwiyanto masuk ke dalam kantornya dan membawa sesuatu bernama: benda-yang-membuat-semuanya-tergiur-untuk-belanja-dengan-harga-murah.

Dan agenda hari itu diakhiri dengan kericuhan semuanya memilih barang untuk diri sendiri dan untuk Mamah di rumah. Dan akupun berakhir membeli satu lembar tikar, satu buah sandal, satu buah dompet kecil, dan satu buah dompet besar. Total semuanya 65 ribu rupiah aja :’D

***

Kembali ke Desa Sendangrejo untuk beres-beres pakaian dan barang-barang karena sehabis Shalat Dzuhur kami harus pamit untuk pulang. Seperti biasa, begitu pamit disuruh makan dulu. Kata Bu Susi “makan dulu di sini. Kalau di sana makanannya kering” sambil masak sayur sop. Dan lagi, makan siang bersama.

Sewaktu lagi masak, aku lihat di dapur ada toples berisi air ditutupi dengan kain. Itu katanya the Kamboja yang difermentasi dari Mbak Asri. Selesai makan siang disuguhi the Kamboja karna tadi nanya soal itu.

Waktu dicium sih aromanya kurang enak. Tapi rasanya not bad. Cuma rasanya aja yang kelwat asem. Dan katanya masih ada yang lebih asem dari itu. Blah. Ampuuun! ( >,<)/

Selesai makan, aku sama Husna pamit pulang. Dan waktu pamit Intan kelihatan sedih. Mungkin karena Intan anak tunggal, dan dia senang ada dua kakak yang sejak kemarin ngajak dia bikin gelang, berbagi makanan, diajak ngobrol juga.

Huhu aku juga sedih kok, Intan.

Riz17

 

Aku baru tau ternyata masih banyak banget rumah yang ngga punya kamar mandi yang layak. Di Desa ini aja banyak banget. Apalagi di Desa lainnya yang masih lebih jauh lagi dari kota. Seperti di perbatasan Negara. Tapi aku kecewa ketika disuguhi tiwul satu piring penuh sama Bu Susi. Disuguhi satu mangkuk kecil saja sudah enek. Nah ini satu piring penuh.

 

Dan untuk pertama kalinya aku makan tiwul. Dan ngga mau lagi makan tiwul. Karena mau gimana lagi, lidahnya ngga cocok sama tiwul gini kok ._.)

Setelah pamit, kami ke joglo untuk acara penutupan kunjungan ini. Ada tumpeng di joglo. Wah. Aku sama Husna sudah kenyang duluan.

Ternyata, menurut kepercayaan Jawa tumpeng itu seharusnya diambil dari bawah bukan dari atas. Karena tumpeng itu simbol pemberian kepada Tuhan dari makhluknya sebagai tanda terima kasih atas pemberian-Nya. Sehingga bentuknya mengerucut karena diarahkan pada Tuhan. Jadi, selama ini cara kami memotong tumpeng itu kurang tepat. Hmm.

Dan juga kami menulis beberapa kesan dan pesan untuk Agradaya dengan spidol warna-warni. Kebanyakan isinya berterima kasih kepada Agradaya dan Desa Sendangrejo dan Sendangsari atas ilmunya. Kami semua sangat bersyukur sudah diberi kesempatan untuk mengenal semuanya. Sangat sangat bersyukur :’)

***

Lalu kami diantar lagi dengan mini bus yang sama ke Malioboro untuk jalan-jalan sebentar mumpung lagi di Jogjakarta. Sementara yang lain belanja, aku dan Husna ikut Anggun dan Dian main ke Museum Benteng Vredeburg. Karena aku dan Husna ngga ingin belanja dan sepertinya main ke museum lebih menyenangkan.

Tiket masuknya 2 ribu rupiah aja! Yeay! 😀

Dengan cuaca Jogja yang gerah ini lebih enak main ke tempat yang teduh dan ber-ac. Seperti museum ini. Isi museum ini kebanyakan adalah diorama kejadian-kejadian penting dari masa penjajahan dulu di sekitaran Jogjakarta.

Di dalam musum juga ada banyak game yang bisa dimainkan dengan media layar sentuh dan juga ada simulasi saat peperangan yang cukup terdengar nyata.

Di sini ada 4 kelompok diorama. Namun saying, di bagian diorama pertama, banyak yang sedang diperbaiki. But such a fun trip tho.

 

Dalam perjalanan kembali ke bis, melihat ada bule yang ngamen di trotoar jalan. Aku berhenti sebentar liat dia beraksi. Tapi ngga ngasih uang. Dan sekarnag aku merasa bersalah karna tidak memberi dia uang ._.)

Yah, dan begitulah hari terakhir di Jogjakarta berakhir. Dengan kesenangan, kebahagiaan, dan perasaan baik lainnya meski perjalanan untuk mencapai Jogjakarta bukanlah perjalanan yang nyaman. Tapi semuanya patut diingat untuk diceritakan kembali suatu hari nanti. Pasti akan menjadi cerita yang indah ketika nanti kami sudah berpisah karena bekerja di tempat masing-masing.

Dan semoga perjalanan ini diberkahi oleh Allah SWT untuk kami semua dan memberi pelajaran berharga untuk diingat dan diterapkan agar tidak sia-sia. Aamiin…

 

 

Rizky Noorrahmi

Mei 2015


Leave a Reply