JEJAK AWAL KU DI TAMBORA


Ini kisahku dulu saat pertama menjejakkan kaki di tanah tambora.

Tanah Tambora
Tanah Tambora

 

Rabu, 20 Juni 2012

13:05

Badan ku lelah, tapi mata ini sama sekali tidak mengantuk. Perjalanan panjang selama hampir 5 jam, menembus sabana, hutan, sungai serta mobil yang terus berguncang karena jalanan berbatu dan berpasir, tidak membuat sedetik pun aku terlelap. Perasaan senang dan penasaran membuat jantung ini tak bisa berdegup normal, kondisi ini diperkuat dengan pemandangan alam  yang…. entahlah bahkan, luar biasa, amazing dan WOOOOOW, bukan kata-kata yang tepat lagi untuk menggambarkannya, saking indahnya, baru pertama kali ini aku melihatnya, membuat mata ini benar-benar dimanjakan olehnya. Pemandangan di sebelah kiriku adalah hamparan padang kuning kering, bukit-bukit yang ditanami pohon berdaun coklat dan hijau, gunung tinggi menjulang berwarna hijau kebiruan nampak gagah menembus awan putih dan sungai-sungai deras mengalir menuju laut lepas yang berkilauan memantulkan cahaya matahari di sebelah kanan ku.

Pikiranku melayang mengapa kini aku bisa berada disini. Aku saat ini bersama ketiga temanku, sedang menuju sebuah daerah baru, sebuah daerah yang akan menjadi tempat tinggal kami selama satu tahun. Orang-orang menyebut daerah tersebut dengan panggilan Tambora. Sebuah daerah yang akan menjadi bagian keluarga baruku, sebuah daerah yang di akhir tahun ketika aku pergi meninggalkannya, aku tersadar betapa banyak pelajaran hidup yang aku dapatnya darinya.

Yup…Tambora namanya, sebuah kecamatan yang letaknya 200 kilometer dari kota kabupaten Bima, provinsi Nusa Tenggara Barat. Orang bilang daerah ini adalah daerah ‘buangan’, semua pegawai yang dianggap membangkang dari perintah sang penguasa, maka bersiap akan ditempatkan di daerah Tambora. Namun kedatangan saya dan teman-teman ke Tambora bukan karena kami ‘dibuang’ tapi kami “membuang” diri kami sendiri ke daerah seperti ini. Ini adalah keinginan kami berada disini. Keinginan untuk bertemu dengan anak-anak Tambora, menjadi teman belajar dan bermainnya selama satu tahun. Bertemu dengan masyarakat Tambora berbagi ilmu dan inspirasi dan menjadi keluarga barunya seumur hidup.

17.00

Mobil terus melaju kencang, pemandangan laut dan sabana yang sedari tadi aku lihat kini berubah menjadi pemukiman. Kanan kiri ku kini berjajar rumah-rumah panggung kayu, seperti rumah gadang yang sering ku lihat di Padang, kampung halamanku. Daerah ini lebih ramai dari daerah yang sebelumnya kami lewati tadi. Mobil terus melaju, sama seperti jantungku kini melaju dengan kencang dengan degupan yang terasa hingga mata. Oooh inikah desaku yang akan menjadi kampung halaman baruku.

Sampai di perempatan dekat masjid, sang supir pun mulai menurunkan kecepatan mobil, dan berbelok ke kanan menuju jalan berpasir. Perlahan tapi pasti aku melihat garis horizon bumi dan kilauan cahaya kuning keemasan di atas permukaan berwarna biru, oh ya Allah itu lauuuut!!!! (hahaha katrok banget ya, maklumlah aku terlahir dan hidup di daerah gunung tak berlaut). Lelah di badan rasanya terangkat seketika. Namun, mata ini terus bergerak menerka-nerka, dimana aku?, dimana rumah tinggal baruku?, siapa keluarga baruku?.

Mobil berjalan semakin pelan dan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah panggung kayu, berhalaman luas yang ditanami oleh pohon mangga yang saat itu sedang berbuah. Sang supir berkata, “Kita sudah sampai!”. Huwaaaah…..serasa tak percaya, aku langsung membuka pintu mobil dan menjejakkan kaki di tanah pasir ini. Inilah jejak pertamaku di desaku. Desa Labuan Kananga namanya. Jejak yang akan terus kurindukan setelah aku pulang nanti. Sesaat setelah aku menutup pintu, aku berjalan menuju rumah panggung yang sedari tadi kulihat, mata ini tak henti-hentinya mencari wajah keluarga baruku. Di gerbang kayu yang sudah rapuh aku dapat melihat segerombolan anak-anak sedang tersenyum penasaran sambil berteriak-teriak senang, di belakang mereka, aku dapat melihat sesosok ibu-ibu tua menggunakan baju biru muda bersarung kuning tersenyum kearahku. Kelak aku menyematkan gelar kerhormatan kepadanya sebagai ibu angkat terhebat dan terkuat sepanjang hidupku kini *halah berasa udah hidup berjuta-juta tahun.

Ibu tua itu mengulurkan tangan kearahku, akupun cepat menyambutnya dan mencium punggung tangannya sambil memperkenalkan diri. Itulah kali pertamanya bertemu dengan ibu angkatku, Ina Iya (Ibu Iya) namanya. Dari beliaulah kemudian aku akan belajar makna dari kesederhanaan dapat membawa banyak keberkahan dan kerja keras adalah kuncinya. Selesai aku menyalami ibu, anak-anak serentak berebut menyalami tanganku. Itulah kali pertamanya aku merasakan ciuman tangan seorang murid untuk guru barunya.

17:30

Langit yang sedari tadi berwarna biru, kini berubah menjadi warna kuning kemerahan. Dari pekarangan rumah dengan jelas aku dapat melihat bundar matahari memancarkan warna merah menembus langit biru. Cantik sekali, secantik penyambutan anak-anak di sore itu. Anak-anak menarik tanganku menuju pantai, tidak hanya dua tapi hampir sepuluh anak menarik-narik lengan bajuku untuk segera mengikuti mereka ke arah pantai. Kakiku melangkah kikuk karena masih beradaptasi dengan pasir pantai, lambat laun langkahku semakin berat karena pasir yang kuinjak pun semakin lembut. Itu pertanda kami sudah sampai di pinggir pantai, di kanan-kiriku tumbuh subur tumbuhan pantai merambat, hijau dan segar.

Di pinggir pantai kami berkenalan lebih dekat, menatap lekat lebih dalam, aku bertanya nama mereka satu-persatu. Mata mereka bulat sebagian sipit, tubuh mereka kecil dan kurus, warna kulit mereka coklat legam, dan rambut mereka kemerahan, sepertinya karena sengatan matahari yang kuat di siang hari. Kelak aku tahu, lari mereka kencang, nafas mereka kuat di laut. Itulah perkenalan awalku dengan mereka, murid-muridku, jagoan-jagoan kecilku yang pemberani, bidadari-bidadari kecilku yang cerdas. Anak-anak Tambora yang kelak akan membangun daerahnya dengen keberanian dan kecerdasan yang mereka miliki. Aamiin.

 

18:02

Semakin menatap pantai dan laut aku semakin takjub dengan daerah ini, ketakjuban ku bertambah setelah menatap Satonda. Sebuah pulau kecil tak berpenghuni di seberang pantai, berjarak 45 menit dari sini jika menggunakan ketinting (perahu motor kecil nelayan). Keberadaan pulau Satonda menambah kebahagiaan ku hari itu. Sepertinya hari itu Allah sedang melimpahkan banyak anugerah dalam hidupku. Sebagai modal kekuatan ku selama setahun berada disana.  Sore itu aku mengucapkan salam kenal kepada keluarga baruku, kepada anak-anakku, kepada desa ini, kepada pantai ini, kepada laut ini dan kepada satonda.

Kami menutup hari itu dengan menatap laut dan matahari sore, langit biru cerah itu kini semakin, tertutup dengan pesona merah dari sang mentari sore. Pelan tapi pasti sang mentari merah menghilang di bawah garis horizon sembari mengucapkan selamat tinggal dan selamat datang untuk ku. Sore itu adalah sore pertama ku di desa, sore pertamaku bertemu dengan ibu dan sore pertamaku bertemu dengan anak-anak, sore itu telah menjadi jejak awal berjumpaan ku dengan mereka, untuk menorehkan sebuah kisah baru dalam lembaran hidupku.

Bandung, 6 Agustus 2013.

Mengenang saat pertama tiba di Tambora.


Leave a Reply